Pembangunan Tol Cisumdawu, Antara Keadilan Infrastruktur dan Sistem Islam

Pembangunan Tol Cisumdawu, Antara Keadilan Infrastruktur dan Sistem Islam

Smallest Font
Largest Font

OPINI – Barangkali, di antara kita pernah menyaksikan sebuah film yang menceritakan tentang penggusuran tanah oleh oknum aparat. Hal tersebut dilakukan lantaran di tanah tersebut akan dibangun infrastruktur. Ataukah, ada yang pernah melihat langsung faktanya? Bahkan mungkin menjadi korban penggusuran?

Apa yang ada dalam film nyatanya memang ada dalam kehidupan. Betapa banyak pembangunan infrastruktur yang diwarnai dengan aksi penggusuran tanah. Suara penolakan dari warga, seolah tak didengar oleh pemangku kebijakan.

Hal ini juga yang terjadi pada pembangunan Tol Cisumdawu. Dalam pengerjaan Tol sepanjang 60 kilometer ini, pemerintah daerah bertugas mengurusi pembebasan lahan. Sementara Kementerian PUPR mengerjakan konstruksinya.

Namun, proses pembangunan Tol tersebut menemui beberapa hambatan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi RI. Permasalahan tersebut di antaranya adalah:

Pertama, ada beberapa bidang lahan yang sudah bebas namun belum dapat dikonstruksi karena ada penolakan dari warga. Kedua, adanya tumpang tindih kawasan hutan dengan tanah warga, tanah kas desa dan tanah adat. Ketiga, ada juga tanah wakaf yang sampai saat ini belum bebas.

Menurut Pak Menteri, pihaknya sudah menerjunkan tim khusus dan juga meminta aparat penegak hukum mengawal penyelesaian hambatan pembangunan Tol Cisumdawu. (jabarprov. go. id, 16/06/21)

Sudah bisa dibayangkan apa yang terjadi kemudian. Sekuat apapun penolakan yang ditunjukkan warga, tak akan berdaya jika sudah berhadapan dengan penguasa. Pada akhirnya, mereka harus pasrah untuk menata ulang kehidupan yang baru.

Adanya penolakan warga, tentu bukan tanpa alasan. Di tengah kondisi yang sulit seperti hari ini, mereka harus kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian dalam waktu yang bersamaan. Meski ada imbalan yang mereka terima, namun belum tentu mampu mengembalikan apa yang selama ini sudah mereka miliki.

Lantas, di mana hati nurani para pemilik kekuasaan hari ini? Ketika mereka terus mengopinikan bahwa berbagai pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan demi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Namun nyatanya, sejak awal mereka justru membuat rakyat kecewa.

Inilah yang terjadi ketika mengelola negara terinspirasi sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, pengelolaan seluruh urusan publik diserahkan pada swasta. Hal ini menjadikan kepedulian penguasa pada publik menjadi sangat minim sekali.

Selain itu, infrastruktur dalam sistem ini berfokus pada sentra. Artinya, pembangunan yang jor-joran tidak merata, hanya dilakukan di kota-kota. Pembangunan yang dilakukan pun hanya diduga menguntungkan pihak pemilik modal, sedangkan kemaslahatan rakyat cenderung diabaikan.

Betapa tidak sedikit bangunan sekolah yang sudah rapuh, betapa banyak jalan di desa-desa yang sering dilalui warga masih belum tersentuh aspal, atau jembatan antar desa yang rusak. Semua itu seolah tak mendapat prioritas untuk diperbaiki.

Maka ketika kita melihat betapa tidak adilnya pengurusan masyarakat dalam sistem ini, seharusnya membuat kita sadar bahwa tak ada jalan lain selain dengan melakukan perubahan pola berpikir dalam mengurus rakyat.

Sudah semestinya kita mempertimbangkan sistem alternatif yang akan memberikan keadilan pada seluruh rakyat, itulah sistem Islam. Sistem yang diturunkan oleh Zat Yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Sebagai agama yang paripurna, Islam memiliki aturan yang mampu menjadi solusi untuk setiap permasalahan dalam kehidupan. Mulai dari aturan domestik hingga publik, juga aturan dari mulai bangun tidur hingga bangun negara, semua sudah ada dalam Islam.

Lantas, bagaimana pengaturan Islam terhadap pembangunan infrastruktur?

Pertama, secara definisi, infrastruktur adalah fasilitas umum, yang dibutuhkan oleh semua orang, sehingga termasuk dalam kategori marâfiq al-jamâ’ah, seperti air bersih, listrik, dan sejenisnya. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya.

Kedua, membangun infrastruktur yang dibutuhkan manusia wajib dilakukan oleh negara demi kemaslahatan umat. Karena ini merupakan fasilitas umum, maka penggunannya pun gratis, tanpa dipungut biaya.

Ketiga, strategi yang dibuat oleh negara untuk pembiayaan infrastruktur bukan dari investasi atau hutang. Namun dari Baitul Mal, yakni dengan memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak, gas dan tambang.

Misalnya, negara bisa menetapkan kilang minyak, gas dan sumber tambang tertentu, seperti Fosfat, Emas, Tembaga, dan sejenisnya, pengeluarannya dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Hal ini berdasarkan apa yang sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika menjadi kepala negara, juga para khalifah setelah beliau. Mereka telah melakukan tindakan memproteksi tempat-tempat tertentu, yang merupakan kepemilikan umum. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ حِمَى إِلاَّ لِلَّهِ وَلِرَسُوْلِهِ

Tidak ada hak untuk memproteksi, kecuali milik Allah dan Rasul-Nya (HR Abu Dawud).

Dengan kata lain, negara berhak memproteksinya, dan dikhususkan untuk membiayai jihad, fakir, miskin, dan seluruh kemaslahatan publik. Tidak sebagaimana proteksi yang terjadi pada zaman Jahiliyah, baik di masa lalu maupun di masa kini. Yakni ketika individu bangsawan berhak memonopoli untuk dirinya.

Selain itu, Nabi saw. juga pernah memproteksi Tanah an-Naqi’, tempat yang terletak di Madinah al-Munawwarah, untuk menjadi tempat menggembala kuda (HR Abu Ubaid). Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, beliau juga melakukan hal yang sama, dengan memproteksi ar-Rabdzah, yang dikhususkan untuk menggembalakan unta zakat.

Keempat, dalam Islam negara tidak akan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Ketika negara akan membangun infrastruktur di tanah milik rakyat, maka harus betul-betul dipastikan bahwa rakyat menerima. Jika tidak, maka negara tidak berhak memaksa rakyat.

Sebuah teladan yang seharusnya ditiru oleh penguasa hari ini adalah apa yang ditunjukkan oleh salah seorang sahabat Rasul, Umar bin Khattab ra. Satu waktu, ketika menjabat sebagai khalifah, Umar didatangi seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh seorang Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid.

Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadu kan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar.

Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”

Meski tidak memahami maksud Umar, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Amr sesuai pesan Umar. Wajah Amr pucat pasi saat menerima kiriman yang tak di duga nya itu. Saat itu pula, ia mengembalikan rumah Yahudi yang di gusur nya.

Terheran-heran, sang Yahudi ber tanya pada Amr bin ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan ru mah nya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Umar. Amr menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan me menggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”(dilansir dari republika. co. id)

Masyaallah begitu luar biasanya keadilan yang ada dalam naungan sistem Islam. Keadilah tersebut betul-betul akan dirasakan oleh semua rakyat, muslim maupun non muslim, yang miskin maupun yang kaya. Wallahua’lam

Oleh: N. Vera Khairunnisa

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
admin Author

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow