Fenomena Usia 48: Antara Hidup, Kesehatan, dan Perjuangan
OPINI - Tahun 2025 ini terasa berbeda. Saya, Brodin, bersama dua sahabat, Lukman dan Coky, duduk bersama bercengkrama di sebuah kafe sederhana di bilangan Semplak, Bogor, Jumat sore itu. Suasana akrab dipenuhi tawa kecil dan nostalgia, namun ada satu hal yang terasa menekan realitas usia kami yang kini menyentuh angka 48 tahun. Walau ada seorang sahabat kami yaitu Bucek berusia kepala 3 menamani kami bercengkrama.
Lukman, sahabat ini, yang dulu dikenal sebagai pria energik dan ceria, kini terlihat lebih kurus dari biasanya. Dalam dua bulan terakhir, berat badannya menyusut hingga 15 kilogram. Ia menceritakan kondisinya dengan nada santai, meski jelas kami tahu itu bukan hal mudah. Divonis menderita gagal ginjal akut stadium lima, ia harus menjalani hidup yang penuh batasan. Minum air pun hanya dalam jumlah yang telah ditentukan dokter, sementara makanan berminyak, gorengan, dan gula menjadi "musuh besar."
Namun, yang mengejutkan kami adalah keputusannya untuk menolak cuci darah. “Aku ingin hidup seadanya, Bro. Selama aku masih bisa berguna untuk orang lain, aku akan jalani ini dengan cara yang aku pilih,” ucap Lukman sambil menatap gelas kopiku yang ada di depannya. Sosok yang kini sukses di bidang public relations sekaligus pemimpin relawan sosial itu memilih menghadapi semuanya dengan keteguhan hati.
Coky, sahabat kami yang lain, juga memiliki cerita sendiri. Sebagai jurnalis kawakan dan kini tengah menjadi tokoh berpengaruh di Kabupaten Bogor, ia adalah sosok yang sibuk dengan berbagai tanggung jawab. Namun, usia mulai memberinya peringatan. Ia telah berhenti mengonsumsi gula pasir dan menggantinya dengan pemanis buatan. “Aku harus pintar-pintar menjaga diri, guys. Kalau nggak, siapa yang akan teruskan kerja-kerja ini?” katanya sambil tersenyum getir.
Dan saya, Brodin, duduk di antara mereka sambil merenung. Saya masih dengan kebiasaan lama, kopi hitam lima gelas sehari, hidup yang tidak teratur, dan hampir tidak pernah menyentuh olahraga. Di tengah kesibukan sebagai jurnalis, sering kali kesehatan menjadi hal yang saya abaikan. Melihat Lukman dan Coky, ada rasa iri sekaligus rasa takut. Mereka telah mengambil langkah untuk menjaga diri, sementara saya terus bergantung pada keberuntungan Tuhan.
Obrolan sore itu bukan hanya tentang kesehatan, tapi juga refleksi atas perjalanan hidup kami. Di usia 48, kami bertiga menyadari bahwa tubuh mulai memberikan sinyal-sinyal penting. Waktu seakan mengingatkan bahwa ada hal yang harus diubah, bahwa tanggung jawab terhadap tubuh sendiri adalah bentuk penghargaan kepada kehidupan.
“Entah berapa lama kita bisa terus seperti ini,” kata Lukman dengan nada ringan, “Tapi yang penting, kita tetap bermanfaat untuk orang lain. Itu yang paling penting.”
Coky dan saya mengangguk setuju. Di tengah perbedaan cerita, satu hal yang sama kami rasakan: harapan untuk tetap sehat dan berguna bagi sesama. Usia hanyalah angka, tapi cara kita menjalaninya menentukan cerita yang akan kita tinggalkan.
Dan sore itu, di kafe kecil Semplak, kami sepakat untuk terus berjuang dengan cara kami masing-masing, untuk kesehatan, hidup, dan kontribusi, bermanfaat bagi masyarakat.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow