Agar Bonus Demografi Menjadi Berkah, Bukan Musibah
Oleh: N. Vera Khairunnisa
OPINI – Di tengah pandemi yang belum juga mereda dan ditambah dengan bencana alam yang bertubi-tubi melanda negeri yang kita cintai ini, ternyata ada bagian lain yang semestinya jadi kabar baik. Apakah itu? Bahwa ternyata Indonesia sedang berada pada masa bonus demografi.
Bonus demografi yakni suatu kondisi ketika persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia nonproduktif (0–14 tahun dan 65 tahun ke atas). Dengan bahasa sederhana ialah bahwa jumlah pemuda jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak-anak dan lansia.
Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia menjadi penyumbang terbesar pula untuk jumlah penduduk usia produktif. Dari 48,27 juta jiwa penduduk Jabar, penduduk usia kerja atau produktif naik signifikan, dari 53,70% tahun 1980 jadi 70,68%.(jabar.inews. id, 21/01/21)
Kondisi bonus demografi ini bisa menjadi peluang maupun tantangan. Jika dimanfaatkan dengan sangat baik, maka tentu akan sangat menguntungkan bagi Indonesia. Namun jika tidak, maka akan menjadi berbahaya. dailyhomeland.com menulis lebih detail tentang keuntungan bonus demografi.
Dalam menghadapi bonus demografi, para pemangku kebijakan hanya fokus membuat program yang bertujuan untuk menjadikan para pemuda sebagai penggerak roda perekonomian. Mereka membuat pelatihan-pelatihan mengembangkan skill para pemuda agar siap terjun ke dunia kerja. Begitupun keberadaan sekolah sebagai lembaga pendidikan difokuskan juga untuk mencetak para pekerja.
Sebagian pakar dan intelektual pun tidak jauh berbeda dalam hal pemanfaatan bonus demografi, dimana keberadaan pemuda hanya dipandang sebagai aset meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang konon diharapkan, Indonesia bisa menjadi negara maju.
Namun sayangnya, berbagai program yang ada untuk memproduktifkan para pemuda pun belum begitu terlihat hasilnya. Ini bisa dilihat dari masih banyaknya angka pengangguran dan tingginya jumlah orang miskin yang ada di Indonesia, terlebih di masa pandemi sekarang.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) merilis laporan catatan awal tahun, yang memproyeksikan tingkat pengangguran dan kemiskinan diproyeksi meningkat pada 2021. (bisnis. com, 07/01/21). Kemungkinan besar, tingginya angka pengangguran tersebut disebabkan oleh kurangnya akses pendidikan, kurangnya kesempatan untuk berkembang, ketidakmampuan bersaing dan kurangnya keterampilan. Berdasarkan data UNESCO, terdapat 113 miliar anak dan remaja di seluruh dunia yang putus sekolah setiap tahun, dan 97% di antaranya berada di negara berkembang. (idcloudhost. com)
Begitulah dampak kebijakan yang cenderung kapitalistik, banyak rakyat kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan, baik karena alasan biaya pendidikan yang mahal, maupun dikarenakan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Selain itu, investasi dan pembangungan infrastruktur yang digadang-gadang mampu menyerap tenaga kerja nyatanya belum terlihat realisasinya. Yang lebih miris, sebagaimana diberitakan banyak media, ketika masih banyak pengangguran, namun malah mempermudah tenaga kerja asing masuk. Tentu ini semakin menambah sulit tenaga kerja lokal.
Dari aspek sosial budaya, paham pemisahan agama dari kehidupan yakni sekulerisme, menyebabkan paham transnasional seperti liberalisme alias kebebasan ala Barat masuk mempengaruhi pemuda di negeri mayoritas muslim terbesar ini, sehingga hilang arah dan identitas. Mereka hanya menjalani kehidupan dengan bersenang-senang, tanpa memikirkan agama, negara dan masa depan.
Tentu satu hal yang teramat memprihatinkan ketika bonus demografi tidak mampu dimanfaatkan untuk kebangkitan negeri ini. Keberadaan pemuda yang semestinya jadi berkah, malah berpotensi jadi musibah.
Oleh karena itu, sudah semestinya kita menyadari bahwa keberadaan bonus demografi hanya berakhir sia-sia ketika berada dalam suasana kapitalis sekuler. Maka, penting mencari solusi agar masa-masa seperti ini bisa dijadikan peluang kebangkitan.
Bonus Demografi Dalam Paradigma Islam
Islam merupakan agama sempurna dan menyeluruh, selalu mampu menjawab setiap permasalahan apapun dalam kehidupan ini, termasuk masalah bonus demografi.
Berbeda dengan paradigma kapitalisme, yang memandang pemuda hanya sebatas aset kepentingan ekonomi, maka Islam memandang pemuda jauh lebih baik dari itu. Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, “Demi Allah, hakikat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa. Jika kedua hal tersebut tiada padanya, tidak ada jati diri padanya.”
Lantas, bagaimana membentuk pemuda memiliki ilmu dan takwa?
Pertama, dengan menanamkan keimanan yang kokoh dan produktif, yaitu iman yang akan menjadikan para pemuda senantiasa bersemangat dalam menjalankan syariat Islam secara keseluruhan. Allah SWT berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan) dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah: 208).
Proses menanamkan keimanan ini dilakukan sejak usia dini yang dilakukan orangtua atau keluarga. Selanjutnya juga ditopang keberadaan masyarakat yang harus mampu menciptakan suasana keimanan yang bersih dan kokoh.
Keberadaan negara memiliki peran yang jauh lebih utama dalam menanamkan keimanan. Dengan membuat kebijakan yang dalam teknisnya bisa dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan semisal sekolah.
Kedua, membentuk generasi yang mencintai ilmu, generasi muda yang faqih fiddiin yaitu menguasai ilmu-ilmu agama Islam. Selain itu mereka juga harus menguasai ilmu sains teknologi serta dibekali skill yang mumpuni.
Sama halnya dengan menanamkan keimanan, membentuk generasi yang mencintai ilmu pun dilakukan semua pihak, baik orang tua, masyarakat dan negara. Semua ini tentu dilandasi keimanan kepada Allah SWT, bukan dorongan duniawi yang bersifat materi.
Ketiga, membentuk generasi yang mampu menciptakan suasana dakwah dan jihad. Sebab, keduanya merupakan syari’at Allah yang mampu menjadikan Islam tersebar ke seluruh alam.
Allah SWT berfirman (artinya), “Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali ‘Imran: 110).
Untuk mengetahui gambaran bagaimana Islam mampu memanfaatkan bonus demografi dengan sangat baik, maka kita bisa melihat kondisi pada masa Rasulullah saw. memimpin Madinah. Bisa dikatakan, negara yang dibangun Rasulullah saw. merupakan negara yang baru. Namun hanya dalam waktu yang singkat, mampu menjadi negara yang disegani oleh negara di sekitarnya.
Begitupun generasi setelah Rasulullah saw. Para pemuda mampu menjadi penggerak peradaban. Muhammad al Fatih misalnya, di usianya yang masih sangat muda ia mampu membuka gerbang masuknya Islam ke negara-negara Eropa.
Tentu saja, generasi yang mampu membawa kegemilangan peradaban Islam di masa lalu tersebut merupakan hasil dari penerapan sistem Islam yang sempurna dan paripurna.
Maka dari itu, sudah semestinya mengambil sistem Islam sebagai acuan dalam mengatur masyarakat. Agar bonus demografi mampu mewujudkan Jabar dan Indonesia menjadi maju, berkah dan ada dalam keridhaan Allah SWT. Wallahua’lam.
Penulis : Praktisi Homeschooling Ma’had Syaraful Ummah Purwakarta.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow